Wednesday, March 23, 2011

Kisah Gadis di Bus

Matahari terkesan sangat keterlaluan siang ini. Tidak hentinya ia unjuk kebolehan memamerkan teriknya yang tak bermoral. Yang protes akan kesombongan matahari ini bukan hanya para pengguna jalan yang sudah berlindung di dalam mobil atau bersenjatakan helm, tapi aspal jalanan pun ikut berasap meneriakkan keluhannya akan panas yang tak terelakkan. Tak ketinggalan Rara pun nimbrung protes dan sebagai wujud protes ia mencoba menatap sinis matahari dengan pupil mata yang mengecil serta menggerutu lantaran bus kota langganannya belum juga lewat.

5 menit. 10 menit. 15 menit. 17…. “Akhirnya! Lama banget sih, Pak!” omel Rara pada Pak Slamet, nama supir itu.

“Iya, maaf. Tadi Bapak kena macet. Sudah, ayo naik!”. Rara pun masuk ke dalam bus dengan hati dongkol. Namun, sesegera mungkin ia menghapus mimik kesalnya dan menggatinya dengan wajah ceria. 

Seperti biasa, Rara duduk di bangku pojok belakang.
Ya, ampun! Itu kan Tio, kakak kelas yang jadi idaman cewek satu sekolah! Ngapain dia naik bus? tanya Rara dalam hati. Tak disangka-sangka, cowok keren berwajah mirip Oka Antara itu menjatuhkan pilihannya untuk duduk di samping Rara. Rara pun hanya dapat mengucap dalam hati berbagai mantra-mantra yang diharapkan dapat menghilangkan kegugupannya dan dendangan heboh detak jantungnya. Sedetik Rara mencoba menoleh untuk menatap makhluk ganteng di sampingnya, tapi belum tuntas misinya, Rara langsung mengurungkan niatnya lantaran takut pandangan curiannya nanti tertangkap basah oleh si target. Tapi sebelum sempat mencoba lagi, Rara malah dibuat kaget oleh si target.


“Kamu adik kelasku, ya?” tanya Tio sambil menatap tiap ruas diri Rara. Mau tak mau pun, Rara menoleh menghadapi Tio. Haduh, Tio memang ganteng banget! ujar Rara dalam hati.

“Ehmm.. iya. Kak Tio, kan?”

“Iya. Kamu Rara kan?” Oh my gosh! Dia tahu namaku! lonjak hati Rara girang.

“Iya. Kok kakak tahu?”

“Ya, kan ada tuh name tag-nya di baju” DIERR! Seketika luntur semua kegirangan Rara digantikan oleh malu karena dirinya yang sudah kelewat pede.

“Oh iya, ya. Hehehe…” kata Rara sambil nyengir kuda.

“Kamu biasa naik bus ya, Ra?”

“Iya, habis enggak punya mobil atau motor. Ya udah deh, naik bus aja. Kakak sendiri kok tumben naik bus? Kayaknya biasa bawa motor?”

“Iya nih, lagi males aja. BBM mahal sih, jadi mau ngirit gitu. Itung-itung cari pemandangan juga di sini,” kata Tio sambil mengembangkan senyum indahnya membuat Rara ingin meleleh (didukung panasnya matahari).

By the way, ini tujuan Blok M, kan?”

“Hah? Bukan, Kak! Ini tujuan ke Tanah Abang. Kenapa, Kak?”

“HAH? Tanah Abang? Waduh, salah bus nih aku! Aku duluan deh! Dah…”

“Kak…” Tio sudah terlanjur turun dari bus dan Rara teringat lagi akan kebeteannya pada matahari dan tambah bĂȘte lagi melihat bus yang mulai penuh sesak. Terlihat seorang pria dengan badan tinggi besar dan wajah sangar mendekati Rara. Rara hanya mengawasi pria itu yang kini duduk di tempat Tio tadi duduk.
“Sendirian aja, Neng?”

“Urusan amat saya sendiri atau enggak,” jawab Rara jutek

“Idih jutek amat, Neng. Cantik-cantik kok galak..”

“Eh, Bang! Enggak usah macem-macem deh sama saya! Saya bisa silat lho! Jangan sampai Abang kena salah satu jurus maut saya!” ancam Rara

“Widih.. Gaya amat lo, Ra! Tega lo mau gebukin abang lo sendiri?”

“Ya, habisnya Abang juga sih! Orang lagi bete malah digangguin gitu!”

“Emang lo bete kenapa, adik gue yang paling cantik?” seketika kesan sangar Bang Reno lenyap menjadi sosok yang perhatian. Memang dasar, kalau sudah menyangkut adik semata wayangnya, Bang Reno akan mencurahkan segala perhatiannya pada adiknya ini.

“Panas banget tahu, enggak? Apalagi tadi ada anak sekolah yang paling ganteng satu sekolah duduk di sini, eh tapi gara-gara dia itu keliru bus, jadi dia langsung turun! Yang gantiin malah Abang! Huh!”

“Yaelah, ganteng-ganteng dodol tuh namanya! Hahahahaha” tawa Bang Reno tergelak-gelak hingga sakit perutnya. Namun ia segera berhenti tertawa begitu melihat mimik Rara yang seolah-olah berkata, 

“Terus.. puas-puasin lo ketawa! Tega lo sama adik lo sendiri!”.
Belum sempat mereka melanjutkan perbincangan mereka, bus sudah sampai di terminal. Bang Reno dan Rara turun dari bus lalu berpencar. Bang Reno ke warung makan, sedangkan Rara ke toilet. Keluar dari toilet, Rara sudah tidak terlihat seperti anak SMA yang baru pulang sekolah lagi, melainkan pengamen bersenjatakan tutup-tutup botol minuman soda yang dipaku ke balok kayu. Kemudian, ia menghampiri kakaknya ,”Bang, ikutan enggak ke bus lagi?”

“Enggak, ah. Lo aja ya sama Bapak! Gue mau pulang. Ntar malam gue mau ada kerjaan sama anak-anak,”

“Oh, ya udah,” Kemudian Rara pergi sambil ingin menangis. Ia tahu maksud ‘kerjaan’ yang dilakukan kakaknya itu tak lain dan tak bukan hanyalah mabuk-mabukkan. Rara tak tahu ia harus menyalahkan siapa akan keadaan kakaknya ini, apakah ia harus menyalahkan nasibnya dan kakaknya yang sulit membayar pendidikan lantaran hanya anak dari seorang supir bus atau lingkungan kesehariannya yang kurang baik.

“Pak, buruan narik lagi, yuk! Abang enggak ikut,” kata Rara pada Pak Slamet

“Kamu udah makan belum, Nak?”

“Udah” jawab Rara bohong. Ia hanya ingin Bapaknya bisa mencari nafkah dengan lancear. Jangan sampai rezeki bapaknya tertunda hanya karena menunggunya makan. Toh, Rara saat itu juga tidak mempunyai sepeser pun untuk mengganjal perutnya. Sehari-harinya sudah biasa seperti ini. Sepulang sekolah menumpang bus bapaknya untuk mengamen demi mendapat uang jajan yang tak mampu diberikan bapaknya.
***
Siang sudah berganti sore. Panas matahari kini telah digantikan angin sepoi-sepoi sore menjelang malam. Pak Slamet kini tinggal berdua dengan putrinya di bus, dalam perjalanan kembali ke terminal untuk pulang. Sesampainya di terminal, Pak Slamet tersenyum melihat putrinya tertidur di bangku penumpang yang sudah berkarat dan sesungguhnya tak cukup layak ubtuk dijadikan kursi penumpang. “Rara… Nak… Ayo bangun..”

“Eh… udah sampai ya, Pak?” tanya Rara sambil bangun dan mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. Lalu mereka berdua turun dari bus. Setelah Pak Slamet menyetorkan hasil keringatnya pada atasannya, ia pulang dengan Rara ke rumahnya di dekat terminal.

Jalanan becek, nyamuk yang diduga membawa penyakit mematikan, sampah yang terabaikan merupakan hal yang biasa bagi mereka. Sesampainya di rumah, Rara langsung menyantap nasi dan tempe yang ia beli di terminal tadi dengan uang hasil mengamennya, sedangkan Pak Slamet langsung mandi dan setelah itu ke kamarnya. Tepat setelah Rara telah menghabiskan nasi bungkusnya, Pak Slamet keluar dari kamar.
“Ra, Bapak pergi dulu, ya. Kamu di rumah hati-hati. Kalau Reno pulang, dibukain. Bapak bawa kunci, kok,”

“Ya,Pak” jawab Rara datar, kemudian mencium tangan Pak Slamet. Ia dapat mencium bau parfum wanita menyengat dari tubuh Pak Slamet. Lalu, Pak Slamet beranjak pergi keluar dari rumah.

“Eh….Bapak! Tunggu! Lipstick-nya kurang rapi tuh!” teriak Rara lalu dengan gesit merapikan dandanan bapaknya.

“Nah, kalau gini udah bener, Pak!” seru Rara sambil mencoba tersenyum.

“Makasih ya, Nak. Kamu belajar yang rajin. Siapa tahu beasiswa yang ditawarkan sekolah bisa kamu ambil. Ya, Nak? Bapak benar-benar minta maaf Bapak enggak bisa jadi Bapak yang kamu banggakan. Maafkan Bapak harus bekerja seperti ini,” kata Pak Slamet sambil mengelus kepala anaknya.

“Enggak kok, Pak! Aku bangga punya bapak kayak Bapak. Meskipun cuma supir bus di siang hari dan waria di malam hari, aku enggak malu kok. Yang penting Bapak tuh enggak jadi pencuri atau pekerjaan lain yang enggak halal. Ya udah, mendingan Bapak berangkat gih, keburu nanti enggak dapat apa-apa,”

“Ya udah,Bapak berangkat dulu ya,”

“Hati-hati ya, Pak!”
Rara menutup pintu dan mengucek-ngucek matanya yang basah. Ia mengambil foto almahrum ibunya dan hanya dapat berbicara dalam hati “Bu, aku sudah janji sama Ibu enggak bakal nangis meski apapun yang terjadi di keluarga kita. Meskipun aku kangen sama Ibu, tapi aku coba untuk tetap menjadi wanita yang tegar sesuai dengan yang Ibu harapkan,”

Lalu ia mencium foto mendiang ibunya dan pergi tidur. Esoknya, dan seterusnya, Rara menjalani pola hidup yang sama dengan kondisi keluarga, ekonomi, dan sosial yang sama. Namun ia tidak menyerah untuk tetap menjalani hari-harinya.

No comments:

Post a Comment

Thank's for reading this post. It's a pleasure of mine if you willing to share some comments about it :)
Feel free to comment anything. Love ya!
.Rafaela Maria Angelina Indra.