Sunday, March 1, 2015

Dua Sisi (part 1)

Dio
Kuputar lagi ingatan tentang beberapa jam yang lalu. Akhirnya aku bertemu lagi dengannya.

"Yuri! Hei!" Dan dia menoleh. Dia melihatku dan aku dapat merasakan seolah ada percikan kembang api besar di dalam dadaku, mendorongku untuk segera menghampirinya.

"Uhm.. hai..," lambaian tangan dan senyumannya enggak terlihat seantusias yang kuharapkan.

"Lama gak ketemu! Apa kabar?"

"Baik. Kamu gimana?" Kusadari dia berbicara tanpa memandangku. Apakah dia.... ah, aku harus berpikir positif. Mungkin dia enggan mengalihkan pandangannya dari rak buku ini.

"Baik juga! Kamu lagi cari buku apa?"

"Ini.. cari buku untuk latihan bahasa Jerman," tetap tanpa mengalihkan pandangannya dari sana.
Butuh setengah detik untuk ku bisa mencerna jawabannya. Bahasa Jerman? Benarkah katanya bahasa Jerman?

"Oh.. sekarang kamu belajar bahasa Jerman?"

"Iya. Mau nerusin studi ke sana," setenang itu dia mengucapkannya sambil menarik sebuah buku besar dari rak.

"APA??? Kamu mau kuliah di Jerman? Ngapain?"
Ups. Seharusnya aku bisa mengontrol diri. Aku harusnya sadar diri dan tidak melontarkan pertanyaan dengan nada tinggi seperti itu. Sial.

"Biasa aja kali. Ya aku mau cari suasana baru. Germany sounds promising. Kamu? Lagi liburan? Ibu kamu apa kabar?"

"Aku... aku udah resign dari kerjaanku di Bandung. Mau cari kerja di sini aja biar bisa nemenin Ibu,"

"Oh.. bagus deh. Kan jadinya ibu kamu gak sendirian,"

"Kapan-kapan main deh ke rumah. Ibu pasti seneng deh ketemu kamu lagi,"

Dia diam, hanya menatap buku di tangannya. "Aku pergi dulu. Salam buat Ibu," dan setelah mengucapkan kata perpisahan dengan dingin, dia pergi meninggalkanku sendiri di toko buku ini.


Aku masih tak mengerti mengapa dia sedingin itu. Apa dia masih marah? Dan kenapa dia tiba-tiba mau pergi sejauh itu? Dia cinta tempat ini. Sangat cinta. Bahkan dia sendiri pernah bilang tidak ada tempat yang bisa membuatnya senyaman ini. Lalu kenapa?
Kepalaku kini makin berat, menuntut mataku untuk terpejam paling tidak untuk 2 jam.